Abad kedelapan, wayang mulai tumbuh dan keliling dari kampung ke kampung di Nusantara.
Menjadi hiburan rakyat. Dengan dalang sebagai juru dongeng. Sinden pembangun
hangat suasana, dan gamelan sebagai pengiring sekaligus pelembut. Rakyat jelata
menjadi penikmat setianya semalam suntuk. Keterbukaan wayang serta lelucon
satir dari dalang yang bebas klayapan kesana kemari, menjadi penenang saraf
tegang dari penonton yang sehari penuh bekerja. Semuanya mengerubungi pentas:
anak kecil, dan perempuan, lelaki berapapun usianya.
Kelengkapan
unsur seni di dalamnya: musik, drama, tari, rupa, menjadikan wayang sebagai
seni pertunjukan yang memikat. Peluang bagus sebagai alat untuk menghegemoni rakyat.
Sebagai corong membudakkan manusia khususnya jelata. Kenyataan itu yg setidaknya
pernah terjadi dalam sejarah pewayangan nusantara. Ya, wayang juga pernah
terpuruk sekitar abad 16, terjerembab lalu dipungut sebagai lengan kuasa dari
tangan-tangan kolonial dan feodal.
Wayang
menjadi alat hipnotis, pakem-pakem menjadi amat kaku. Gerakan carangan pada
wayang—dalam hal ini Semar, Gareng, Petruk, Bagong sebagai Ponokawan—kehilangan
guyon satirnya. Dalang yang semula tukang lempar kritik diubah menjadi juru
bicara feodal-kolonial. Aroma mistis yang berlebihan ditebarkan pada sekujur
tubuh pewayangan. Bahwa dewa menjadi penguasa mutlak, dan pamali jika
disanggah. Dewa menjadi kehilangan arti. Dewa yang sejatinya merupakan simbol
dari puncak ilmu pengetahuan, bergeser menjadi diktator. Kisah Mahabarata
Tradisional menjadi begitu seram dan dangkal, penuh legitimasi atas pemerasan.
Ponokawan yang tugasnya memberi penerangan, sekaligus simbol kebebasan rakyat,
dikerdilkan jadi lelucon tanpa mutu.
Begitu
pergulatan wayang dalam rumah koloni berperabot feodal. Masyarakat jelata yang
semula menikmati pertunjukan wayang dengan wajah sumringah, berubah menjadi
wajah polos seperti kena gendam. Lantaran hawa mistis berlebih yang disisipkan
penguasa pada tiap pakem wayang. Dan usaha ini bukannya tak berhasil, sebagian
rakyat yang terhegemoni akhirnya terseret jua pada simpul kisah pewayangan yang
mewakili mulut feodal kala itu. Pertunjukan wayang yang egaliter dan sarat
nilai kerakyatan pada mulanya, berubah jadi penuh tipu muslihat. Peminatnya
merosot bahkan nyaris sepi. Gugur demi satu lantaran bosan dan kurang gayeng.
Namun,
sebagai kesenian yang telah mengakar di Nusantara, ternyata akarnya cukup kuat
untuk tetap berdiri. Setelah digempur dan ditunggangi koloni, pada akhirnya
wayang diakui UNESCO sebagai seni asli Indonesia. Biarpun kisahnya lahir di
India, tapi wayang yang berkembang di India berbeda jauh dengan di Indonesia.
Beberapa tokoh adalah hasil kreativitas para Juru Barata—sebutan untuk dalang sekaligus pengarang cerita wayang--
di Nusantara.
Perjalanan
wayang sebagai seni rakyat yang bertahan sampai sekarang merupakan suatu proses
pendewasaan bagi wayang itu sendiri. Jika pada masa kolonial ia digunakan
sebagai alat tipu-tipu, setidaknya zaman Soekarno wayang mulai diangkat. Lekra
adalah salah satu lembaga kebudayaan yang sadar akan kesenian lintas zaman ini.
Riwayat wayang sebagai seni rakyat menjadikan Lekra merasa perlu untuk
memikirkan nasibnya. Lagipula, wayang adalah anak kandung kebudayaan rakyat.
Luka
lama wayang—alat legitimasi paham pemerasan-- sedikit-sedikit mulai dibersihkan
dan disembuhkan. Lekra menjadi wadah para dalang berkumpul dan bertukar
pikiran, di Jawa Tengah, D.I Yogyakarta, dan sebagian Jawa Timur. Para dalang
yang tergabung dalam paguyuban masing-masing tak segan menghadiri rembug budaya
yang digelar Lekra. Bahkan, banyak juga Ki Dalang yang secara sah nyemplung sebagai anggota Lekra.
Pakem
pembaharuan mulai digarap. Pembaharuan dari segi isi cerita dan dari segi
bentuk. Pakem cerita yang memuat penghisapan dan perendahan derajat rakyat
dibabat, cerita carangan mulai dikembangkan. Ponokawan menjajaki perannya
kembali setelah sekian lama tidur dalam lelucon tak berisi. Lakon yang menceritakan liciknya Kresna
sebagai titisan dewa, mulai diangkat, seperti dalam cerita gugurnya Bambang
Ekalaya. Bima kembali mendapat keberaniannya dalam bicara, tersirat dalam lakon
Bima Suci, yaitu argumen Bima tentang konsep keagamaan yang membuat Batara Guru
tersipu malu. Pun Batara Guru sebagai Presiden para Dewa, mulai diperlihatkan
boroknya. Semua tokoh wayang ditancapkan sebagai anak buah dalang. Rakyat
mendapat intisari wayang sebagai hiburan rakyat yang sesungguhnya: wayang yang
egaliter. Lekra dan khususnya beberapa dalang yang terhimpun dalamnya, cukup
berperan dalam pengembalian wayang ke fitrahnya.
Dalam
pandangan Lekra, mengutip dari buku Lekra
Tak Membakar Buku karya Muhidin M Dahlan, wayang diposisikan sebagai alat perjuangan
dan propaganda Manipol kala itu. Oleh sebab, muatannya harus penuh nilai
kerakyatan, revolusioner, dan bergaris politik Manipol. Wayang harus berani
untuk diperbaharui. Merupakan proses perdebatan ketika wayang hendak memasuki
fase pembaharuan. Beberapa dalang yang konsisten dengan prinsip ‘Mahabarata
untuk Mahabarata’, mentah menolaknya. Namun, dukungan penuh keluar dari diri
para dalang ‘progresif’ yang segaris dengan pemikiran Lekra.
Beberapa
dalang ini seperti Ki Dalang Muljadi Muljosabdo. Ia menggubah lakon Kalimantara yang menceritakan
perjuangan ganyang Malaysia. Kisah yang sama sekali baru dalam pewayangan.
Namun wayang yang digunakan adalah tokoh-tokoh yang sudah ada: Kumbakarna,
Prakasta, Mamang Murka, dll. Penggunaan tokoh yang sudah ada ini dimaksudkan
agar wayang tak kehilangan unsur seni yang sudah sekian lama mengakar di
masyarakat. Juga agar masyarakat tak kaget dengan pembaharuan yang terjadi.
Pembaharuan pewayangan dilakukan bertahap.
Juga
pertunjukan wayang dalam Konferensi Daerah ke IV Lekra Jateng pada Januari
1965. Dimana ada tiga dalang yang bermain secara kolektif, sesuai prinsip
kerakyatan yang harus menjunjung prinsip kolektivitas. Wayang sedikit demi
sedikit kembali menemukan ritme kerakyatannya.
Pembaharuan
pada wayang yang didukung penuh oleh Lekra ini tentu masih menuai protes. Dalam
beberapa kesempatan, PKI melalui perwakilannya masih menyebutnya pembaharuan
yang belum prinsipil. Belum utuh dan masih nanggung.
Selain itu protes juga masih membahana dari beberapa dalang klasik yang
berpegang teguh pada prinsip ‘Mahabarata untuk Mahabarata’ atau ‘Ramayana untuk
Ramayana’.
Itulah
kesenian. Ia adalah buah kreativitas seniman. Menjadi anak kebudayaan rakyat
dan bersentuhan langsung dengan realitas rakyat. Dalam perkembangannya kesenian
menunjukkan nilai luwesnya ketika berbenturan dengan pelbagai kondisi, selain
pendewasaan untuk kesenian itu sendiri. Biarlah wayang dengan masa lalunya yang
penuh luka. Biarlah wayang bersama aroma mistis yang mendayu. Ia tetap seni
pertunjukan yang sederhana. Mampu menjadi wahana sindiran atas ketimpangan
sosial, juga pada penguasa. Dan pada masa kini, biarlah wayang berkembang: jika
hanya bertahan dengan pakemnya berarti mati, jika tumbuh dengan bentuk baru
berarti hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar