Sabtu, 17 September 2016

Wayang: Politik, Waktu, dan Ruang



Abad kedelapan, wayang mulai tumbuh dan keliling dari kampung ke kampung di Nusantara. Menjadi hiburan rakyat. Dengan dalang sebagai juru dongeng. Sinden pembangun hangat suasana, dan gamelan sebagai pengiring sekaligus pelembut. Rakyat jelata menjadi penikmat setianya semalam suntuk. Keterbukaan wayang serta lelucon satir dari dalang yang bebas klayapan kesana kemari, menjadi penenang saraf tegang dari penonton yang sehari penuh bekerja. Semuanya mengerubungi pentas: anak kecil, dan perempuan, lelaki berapapun usianya.

Kelengkapan unsur seni di dalamnya: musik, drama, tari, rupa, menjadikan wayang sebagai seni pertunjukan yang memikat. Peluang bagus sebagai alat untuk menghegemoni rakyat. Sebagai corong membudakkan manusia khususnya jelata. Kenyataan itu yg setidaknya pernah terjadi dalam sejarah pewayangan nusantara. Ya, wayang juga pernah terpuruk sekitar abad 16, terjerembab lalu dipungut sebagai lengan kuasa dari tangan-tangan kolonial dan feodal.

Wayang menjadi alat hipnotis, pakem-pakem menjadi amat kaku. Gerakan carangan pada wayang—dalam hal ini Semar, Gareng, Petruk, Bagong sebagai Ponokawan—kehilangan guyon satirnya. Dalang yang semula tukang lempar kritik diubah menjadi juru bicara feodal-kolonial. Aroma mistis yang berlebihan ditebarkan pada sekujur tubuh pewayangan. Bahwa dewa menjadi penguasa mutlak, dan pamali jika disanggah. Dewa menjadi kehilangan arti. Dewa yang sejatinya merupakan simbol dari puncak ilmu pengetahuan, bergeser menjadi diktator. Kisah Mahabarata Tradisional menjadi begitu seram dan dangkal, penuh legitimasi atas pemerasan. Ponokawan yang tugasnya memberi penerangan, sekaligus simbol kebebasan rakyat, dikerdilkan jadi lelucon tanpa mutu.

Begitu pergulatan wayang dalam rumah koloni berperabot feodal. Masyarakat jelata yang semula menikmati pertunjukan wayang dengan wajah sumringah, berubah menjadi wajah polos seperti kena gendam. Lantaran hawa mistis berlebih yang disisipkan penguasa pada tiap pakem wayang. Dan usaha ini bukannya tak berhasil, sebagian rakyat yang terhegemoni akhirnya terseret jua pada simpul kisah pewayangan yang mewakili mulut feodal kala itu. Pertunjukan wayang yang egaliter dan sarat nilai kerakyatan pada mulanya, berubah jadi penuh tipu muslihat. Peminatnya merosot bahkan nyaris sepi. Gugur demi satu lantaran bosan dan kurang gayeng.

Namun, sebagai kesenian yang telah mengakar di Nusantara, ternyata akarnya cukup kuat untuk tetap berdiri. Setelah digempur dan ditunggangi koloni, pada akhirnya wayang diakui UNESCO sebagai seni asli Indonesia. Biarpun kisahnya lahir di India, tapi wayang yang berkembang di India berbeda jauh dengan di Indonesia. Beberapa tokoh adalah hasil kreativitas para Juru Barata—sebutan untuk dalang sekaligus pengarang cerita wayang-- di Nusantara.

Perjalanan wayang sebagai seni rakyat yang bertahan sampai sekarang merupakan suatu proses pendewasaan bagi wayang itu sendiri. Jika pada masa kolonial ia digunakan sebagai alat tipu-tipu, setidaknya zaman Soekarno wayang mulai diangkat. Lekra adalah salah satu lembaga kebudayaan yang sadar akan kesenian lintas zaman ini. Riwayat wayang sebagai seni rakyat menjadikan Lekra merasa perlu untuk memikirkan nasibnya. Lagipula, wayang adalah anak kandung kebudayaan rakyat.

Luka lama wayang—alat legitimasi paham pemerasan-- sedikit-sedikit mulai dibersihkan dan disembuhkan. Lekra menjadi wadah para dalang berkumpul dan bertukar pikiran, di Jawa Tengah, D.I Yogyakarta, dan sebagian Jawa Timur. Para dalang yang tergabung dalam paguyuban masing-masing tak segan menghadiri rembug budaya yang digelar Lekra. Bahkan, banyak juga Ki Dalang yang secara sah nyemplung sebagai anggota Lekra.

Pakem pembaharuan mulai digarap. Pembaharuan dari segi isi cerita dan dari segi bentuk. Pakem cerita yang memuat penghisapan dan perendahan derajat rakyat dibabat, cerita carangan mulai dikembangkan. Ponokawan menjajaki perannya kembali setelah sekian lama tidur dalam lelucon tak berisi. Lakon yang menceritakan liciknya Kresna sebagai titisan dewa, mulai diangkat, seperti dalam cerita gugurnya Bambang Ekalaya. Bima kembali mendapat keberaniannya dalam bicara, tersirat dalam lakon Bima Suci, yaitu argumen Bima tentang konsep keagamaan yang membuat Batara Guru tersipu malu. Pun Batara Guru sebagai Presiden para Dewa, mulai diperlihatkan boroknya. Semua tokoh wayang ditancapkan sebagai anak buah dalang. Rakyat mendapat intisari wayang sebagai hiburan rakyat yang sesungguhnya: wayang yang egaliter. Lekra dan khususnya beberapa dalang yang terhimpun dalamnya, cukup berperan dalam pengembalian wayang ke fitrahnya.

Dalam pandangan Lekra, mengutip dari buku Lekra Tak Membakar Buku karya Muhidin M Dahlan, wayang diposisikan sebagai alat perjuangan dan propaganda Manipol kala itu. Oleh sebab, muatannya harus penuh nilai kerakyatan, revolusioner, dan bergaris politik Manipol. Wayang harus berani untuk diperbaharui. Merupakan proses perdebatan ketika wayang hendak memasuki fase pembaharuan. Beberapa dalang yang konsisten dengan prinsip ‘Mahabarata untuk Mahabarata’, mentah menolaknya. Namun, dukungan penuh keluar dari diri para dalang ‘progresif’ yang segaris dengan pemikiran Lekra.

Beberapa dalang ini seperti Ki Dalang Muljadi Muljosabdo. Ia menggubah lakon Kalimantara yang menceritakan perjuangan ganyang Malaysia. Kisah yang sama sekali baru dalam pewayangan. Namun wayang yang digunakan adalah tokoh-tokoh yang sudah ada: Kumbakarna, Prakasta, Mamang Murka, dll. Penggunaan tokoh yang sudah ada ini dimaksudkan agar wayang tak kehilangan unsur seni yang sudah sekian lama mengakar di masyarakat. Juga agar masyarakat tak kaget dengan pembaharuan yang terjadi. Pembaharuan pewayangan dilakukan bertahap.

Juga pertunjukan wayang dalam Konferensi Daerah ke IV Lekra Jateng pada Januari 1965. Dimana ada tiga dalang yang bermain secara kolektif, sesuai prinsip kerakyatan yang harus menjunjung prinsip kolektivitas. Wayang sedikit demi sedikit kembali menemukan ritme kerakyatannya.

Pembaharuan pada wayang yang didukung penuh oleh Lekra ini tentu masih menuai protes. Dalam beberapa kesempatan, PKI melalui perwakilannya masih menyebutnya pembaharuan yang belum prinsipil. Belum utuh dan masih nanggung. Selain itu protes juga masih membahana dari beberapa dalang klasik yang berpegang teguh pada prinsip ‘Mahabarata untuk Mahabarata’ atau ‘Ramayana untuk Ramayana’.

Itulah kesenian. Ia adalah buah kreativitas seniman. Menjadi anak kebudayaan rakyat dan bersentuhan langsung dengan realitas rakyat. Dalam perkembangannya kesenian menunjukkan nilai luwesnya ketika berbenturan dengan pelbagai kondisi, selain pendewasaan untuk kesenian itu sendiri. Biarlah wayang dengan masa lalunya yang penuh luka. Biarlah wayang bersama aroma mistis yang mendayu. Ia tetap seni pertunjukan yang sederhana. Mampu menjadi wahana sindiran atas ketimpangan sosial, juga pada penguasa. Dan pada masa kini, biarlah wayang berkembang: jika hanya bertahan dengan pakemnya berarti mati, jika tumbuh dengan bentuk baru berarti hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar